Guru Goblok ketemu Murid Goblok

Pendidikan memang tema yang sangat menarik untuk diperbincangkan, yang slalu berubah dari satu zaman ke-zaman berikutnya. Hal ini dikarenakan sifat manusia yang slalu ingin tahu, haus dengan pengalaman-pengalaman baru. Dikatakan dalam syari’at islam bahwa seorang mu’min harus mencari ilmu dari timangan seorang ibu, dan berhenti sampai pada liag lahat. Dari sini dapat kita ketahui betapa fatalnya posisi pendidikan dalam agama islam. Lalu kemudian bagaimana jika dalam suatu tempat pendidikan ada seorang “guru goblok bertemu dengan murid goblok”, apa yang akan terjadi?


Ya, yang kalian semua bayangkan itu akan terjadi. Pasti akan sangat mengerikan bila seorang murid goblok bertemu dengan guru goblok. Bayangkan saja apa yang akan mereka lakukan, murid goblok yang haus dengan ilmu bertemu dengan guru goblok yang ternyata ilmunya tidak membantu untuk menyegarkan dahaga keilmuan si murid goblok.

Pada setiap kesempatan, ternyata banyak guru yang tidak tahu potensi dan kemauan muridnya. Guru yang “goblok” akan terus memaksakan keinginan/gaya pembelajaran yang ia yakini benar, padahal belum tentu yang guru rasakan sama dengan apa yang dirasakan muridnya. Tanpa pengamatan dan evaluasi mendalam tentu saja hal itu akan menghasilkan tindakan yang salah besar. Tidak mungkin seorang murid yang tidak suka dengan mata pelajaran matematika dapat mengerjakan soal-soal matematika.


Menyontek, adalah sebuah kasus yang tidak kunjung selesai pada setiap murid sekolah, baik sekolah dasar, sekolah menenga, bahkan sampai mahasiswa perguruan tinggi di Indonesia. Selain karena keinginan sendiri, fenomena ini juga banyak dipengaruhi oleh perilaku lingkungan. Mungkin fenomena ini sudah layak untuk disebut Budaya, saking parahnya kondisi mental peserta didik. 

Dalam masalah ini tidak satupun orang yang mengakui telah melakukan kesalahan, seorang guru misalnya, tidak mungkin guru mengakui telah melakukan kesalahan, atau mungkin memang dia tidak sadar telah melakukan suatu kesalahan. Siswapun tidak kalah kolotnya dengan tidak mengakui prilaku melencegnya, dalam kasus ini tentu saja siswa telah melakukan tindakan tidak jujur pada proses pendidikan, namun demikian tidak satupun anak yang mengakuinya, mereka selalu berkilah dengan kalmat “bagaimana lagi, saya tidak bisa, dari pada saya tidak lulus, sudahla itu buka  hal yang aneh lagi”. Ya, disitulah pointnya, Iman Supriyono melihat adanya kesalahan dalam pendidikan kita. 

Sistem terlalu memaksakan murid untuk menjadi orang cerdas disemua bidang, lihat saja pada semua jenjang pendidikan tenyata beban mata pelajarannya memang sudah sangat banyak, apa lagi kita dituntut untuk mencapai criteria minimal pada semua mata pelajaran tersebut. Sudah barang tentu siswa tidak mampu mencapai criteria yang diinginkan oleh system ini, alih-alih kosentrasi pada satu bidang, siswa Ssekolah menenga atas mulai mengambil jurusan, baik itu IPA, IPS, BAHASA, atau mungkin keagamaan. 

Namun demikian masih terlalu banyak mata pelajaran yang harus ditempuh pada setiap bidang yang dianggap sudah mengerucut ini, tidak berhenti sampai disitu saja, bahkan pada jenjang yang lebih tinggi, pada perguruan tinggi juga tidak kalah “gilanya”, pada setiap jurusan yang sudah dianggap sebagai satu bidang yang harus ditekuni seorang mahasiswa ternya didalamnya masih terlalu banyak mata kuliah yang harus diambil, selanjutnya tidak ada jalan lain lagi bagi mahasiswa/siwa selain “mencontek”.

Ketidak jujuran dalam pendidikan tidak hanya terjadi sampai disitu saja, BEBERAPA BULAN YANG LALU ditemukan banyak oknum dosen yang melakukan plagiasi, ya itulah wajah pendidikan kita, kesikit mengutip, durheim mengatakan bahwa “education is mirror of society”, sampai disini sudah bisa kita katakan “itulah cermin masyarakat kita”.


Seorang teman saya dalam sebuah diskusi mengatakan “pendidikan pada hakikatnya adalah tindakan” dari sini dapatlah kita interpretasikan bahwa pendidikan itu bukan hanya teori-teori saja, walaupun tanpa sebuah teori tidak mungkin terjadi praktek yang maksimal. 

Sebuah contoh dalam kasus pendidikan adalah perbandingan angkatan kerja dari fakultas kedokteran dan sastra. Kita lihat dari fakultas kedokteran sudah dipastikan hampir semua lulusannya dapat mengobati orang yang sakit, disamping itu memang kehendak tuhan. Namun kita lihat pada fenomena lulusan sastra hanya beberapa persen saja yang mungkin dapat menghidupi dirinya dari karya yang mereka hasilkan, selanjutnya Iman Supriyono mengatakan bahwa pendidikan memang membutuhkan praktek, bukan hanya sebuah teori. 

Praktek dapat mengantarkan seorang mahasiswa kedokteran pada sebuah kesuksesannya, sementara pada fakultas social lainya, sudah dipastikan angkatan kerja yang nganggur adalah dari fakultas ini.


______________
Ditulis dari hasil diskusi SEDC (social Education Discuss club) dan bedah buku "Guru Goblok ketemu Murid Goblok" karya imam supriono

No comments for "Guru Goblok ketemu Murid Goblok"