Agama: Fungsionalism Dan Konflik
Agama berasal dari bahasa
sansekerta a dan gama. a yang artinya tidak,
dan Gama berarti bengkok, agama berarti tidak bengkok, atau
meluruskan sesuatu yang bengkok. Dari sini dapat dikatakan bahwa agama adalah
upayah untuk meluruskan pandangan yang bengkok dengan dogma-dogma keagamaan.
Dalam arti yang sesungguhnya
agama adalah sebuah petunjuk yang diturunkan Tuhan untuk hambah-Nya untuk
diikuti dan dipatuhi (tunduk) agar manusia selamat dari ancaman api neraka.
Namun yang akan kita bahas adalah bagaimana sejarah padangan manusia tentang agama
menurut pandangan sosiologis.
Menurut E.B Taylor
perjalanan manusia mengenal tuhannya berawal dari pemikiran bahwa manusia
memiliki alam fisik, dan alam metafisik yang diperoleh manusia saat dia
tertidur dan bermimpi. Dan selanjutnya manusia mulai percaya bahwa manusia
memiliki roh, dan tumbuhan serta alam memiliki spirit (soul). Pemikiran ini
terus berkembang dan manusia mulai menyembah (monoisme). Pemikiran tentang
tuhan hanya ada satu ternyata tidak memuaskan bagi manusia, mana mungkin satu
tuhan bisa melakukan hal-hal sebanyak itu? Bagaimana tuhan mengatur ini dan
bagaimana tuhan mengatur itu?. Muncul banyak pertanyaan yang akhirnya membawa
manusia pada pemahaman tuhan itu ada banyak (politeisme). Singkatnya, pada masa
yahudi, Kristen, dan islam akhirnya manusia kembali mempercayai hanya ada satu
tuhan yang maha berkuasa (monoteisme).
Emile durkhiem (1858-1917)
mencoba menjelaskan agama dengan teori fakta sosialnya. Dari pandangan ini
agama berawal dari sebuah ide yang kemudian disebarkan kepada suatu masyarakat.
Penyebaran ide ini biasanya memiliki
dua motif yang berbeda, yaitu motif kebaikan dan motif keburukan, yang kemudian
lama-kelamaan ide itu akan disakralkan (iman) karna manusia tidak mampu
menjelaskan dengan gamblang tentang ide (totem)
tersebut. Apabila iman diaktualisasikan dengan sebuah ritual tertentu maka
itu dianggap sebagai sebuah agama. “religion
set of belief and practices”. Fungsi agama menurut (ED) adalah sebagai
edukasi, pengawasan (social control), fungsi transformative, dan sebagai pemupuk
solidaritas.
Berbeda dengan durkhiem,
karl marx mengatakan bahwa meterilah yang akan menentukan ide. Marx mencoba
mencoba menjelaskan agama dengan teori konfliknya. Pada saat manusia sudah
bekerja keras namun hasil yang diperolehnya sangat tidak memuaskan, maka
manusia akan menjadi sesosok penyabar, hal ini disebut Marx sebagai kesadaran palsu (false consius). Marx mengatakan agama adalah candu, dimana manusia
akan lari kepada agama ketika manusia tidak bisa menjawab
pertanyaan/kebutuhannya. Selanjutnya marx mengatakan agama adalah penyakit
sosial. Lebih lanjut marx mengatakan bahwa agama sengaja diciptakan kaum elit (the rooling clash) untuk
mengeksploitasi sumberdaya kaum buruh (labor).
Menurut Marx agama akan tidak diperlukan lagi ketika seluruh manusia sudah
tercerahkan dengan menganut system komunis/sosialis.
Sampai disini sebagai
pengantar, selanjunjutnya mari kita diskusikan…..
No comments for "Agama: Fungsionalism Dan Konflik"
Post a Comment
Berikan Komentarmu di Sini, Untuk Beropini, Bertukar Ide dan atau Sekedar Sharing..