Mengembalikan Citra dan Martabat Guru di Sekolah

Page Title
Mengembalikan Citra dan Martabat Guru
Ilustrasi seorang guru sedang memberikan pelajaran pada anak| Sumber: Pixabay.com

Mengembalikan Citra dan Martabat Guru. Sekolah pada dasarnya adalah tempat dimana seorang siswa menimbah ilmu dan pengetahun dari para pengajar. Tapi barangkali definisi ini sudah mulai bergeser seiring dengan perkembangan masyarakat saat ini, banyak fungsi-fungsi guru yang mulai bergeser, berkurang, berubah, dan tentu juga bertambah. Sejalan dengan hal itu, kita juga melihat pergeseran, dan perubahan perilaku seorang murid kepada guru. Bagaimana cara mengembalikan citra dan martabat guru?

Citra dan Martabat Guru di Sekolah

Guru dalam filosofi jawa meupakan akronim dari “diGugu lan ditiRu”. Dalam konsep ini, guru dituntut untuk memberikan tauladan-tauladan kepada para siswa agar memiliki karakter yang baik seperti yang dimiliki oleh para pengajar. Dilain pihak, siswa juga memiliki tuntutan untuk menerima segala tauladan (tindakan/perkataan) yang disampaikan oleh para guru kepada mereka.

Pada kenyataannya, guru bukanah malaikat yang seluruh tindakannya tidak memiliki kesalahan. Guru adalah manusia biasa yang kadang lelah, resah, gelisah, sedih, suka senang, dan lain-lain, yang kadang juga guru keluar batas tidak mampu mengontrol emosinya. Disinilah kadang akan timbul tindakan-tindakan yang pada dasarnya ingin mendidik siswa, namun mungkin sedikit kebablasan.

Guru Di Masa Lalu dan Sekarang

Guru dimasa lalu memiliki nilai tawar yang cukup bergengsi, guru dimuliakan (dengan makna sesungguhnya) oleh masyarakat. Hal ini selain dikarenakan karena pengabdiannya mengajarkan ilmu kepada masyarakat dan anak-anak mereka, juga dikarenakan oleh kemampuan finansial guru saat itu yang cukup baik.

Dimasa lalu orang-orang yang memberikan layanan pendidikan kepada masyarakat adalah orang-orang yang secara ekonomi memang “mantap”, sudah merasa cukup, setidaknya menurut pribadi guru itu sendiri. Oleh sebab itu, dizaman dahulu guru yang berjuang mencerdaskan kehidupan bangsa bahkan memberikan fasilitas seperti tempat, penerangan, dan fasilitas pendukung lainnya, dan bahkan kadang juga memberikan makan pada para murid-muridnya.

Pelayanan-pelayanan yang diberikan oleh para guru tersebut, melahirkan banyak respect dari kalangan murid, maupun kalangan orang tua mereka, yang tidak jarang juga menggugah para orang tua murid untuk ikut membantu para guru untuk kelancaran proses belajar dan mengajarnya.

Hal ini tentu saja berbeda dengan keadaan saat ini yang semua perspektifnya sudah berubah. Modernitas yang senantiasa berkembang sampai saat ini ternyata membawa masyarakat kita berpandangan matrialisme (namun tidak keseluruan), dimana pendidik dianggap sebagai profesi biasa sebagaimana profesi yang lain, yang semua tanggung jawabnya harus dilaksanakan. Sialnya, walaupun profesinya dianggap sebagai kegiatan yang professional, namun bayarannya sama sekali tidak professional, bahkan lebih dekat dengan kata “kerja bakti”.

Problem Fee (finansial)

Problem finansial tersebut, ditambah dengan sifat masyarakat yang semakin matrealis membawa posisi guru sebagai seorang pendidik mengalami penurunan status dimata masyarakat umum. Dari dulunya dianggap sebagai seseorang yang patut untuk digugu dan ditiru, menjadi “seorang yang lemah secara finansial”.

Perubahan cara pandang status guru ini selanjutnya menimbulkan banyak masalah, termasuk diataranya adalah persoalan yang banyak terjadi sekarang, yaitu persoalan pԑmukul4n, pԑng4niaya4n, pԑnger0yok4n, dan lain-lain di sekolah.

Kesadaran Siswa Atas HAM

“kԑkԑras4n” dalam kenyataannya memang sesuatu yang dari dulu sampai saat ini tidak terlepaskan dari konteks pendidikan. Baik pendidikan disekolah maupun pendidikan dalam rumah tangga. Sebagai madrasah (tempat pendidikan) pertama, kelurga juga banyak kita lihat menggunakan tind4k “kԑkԑras4n” seperti mԑncub!t, dan semacamnya yang dilakukan sebagai suatu pun!shmԑnt yang diberikan kepada anak, atas perilaku anak yang tidak diinginkan orang tuanya. “kԑkԑras4n” tersebut jelas tidak untuk mԑluk4i atau mԑncidԑr4i, tapi lebih kepada bentuk kasih sayang.

Sampai disini setidaknya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa seharusnya kԑkԑras4n yang masih dalam kewajaran sebagai proses pendidikan masih kita toleransi. Namun sayangnya persepsi kita terhadap HAM kadang-kadang justru malah kelewatan, yang menganggap kԑkԑras4n itu dilarang, apapun konteksnya.

Kesadaran atas Hak Asasi Manusia (HAM) pada diri siswa akhirnya juga mendorong siswa untuk melakukan pԑrlaw4nan terhadap guru yang bahkan hanya “menԑgor” perilaku siswa yang tidak seharusnya dilakukan di sekolah, misalnya. dan selanjutnya banyak memicu kԑtԑg4ngan-kԑtԑgang4n seperti yang kita lihat akhir-akhir ini.

Sikap Orang Tua Dalam K4sus “kԑkԑras4n“ di Sekoah

Dahulu, Ketika sebuah keluarga memasukkan anaknya dalam suatu pondok pesantren, biasanya orang tuanya akan memasrahkan tanggung jawab mendidik anak kepada para ustadz/kiyai, dengan cara yang "transaksional", dimana orang tua mengatakan langsung didepan ustadz/kiyai bahwa sepenuhnya mempercayakan pendidikan terhadap anak kepada sang ustadz, dan para pengasuh menerimanya sebagaimana “ijab qobul”, yang selanjutnya anak akan mengikuti berbagai proses dalam jenjang pendidikan di pesantren.

Pendidikan dalam pesantren jika kita salah mempersepsikannya dengan berbagai definisi HAM misalnya, tentu banyak para ustadz yang akan tersԑrԑt dalam k4sus-k4sus seperti “mԑrԑndahkan”, “kԑkԑras4n”, dan seterusnya (setidaknya seperti yang saya alami dulu waktu menimbah ilmu di pesantren).

Namun demikian, semua tindakan tersebut di atas, dilakukan tanpa maksud untuk berlaku sԑwԑnang-wԑnang pada anak. Dan keluargapun menerimanya sebagai sebuah proses dalam pendidikan secara wajar.

Berbeda dengan hari ini, banyak k4sus yang melibatkan guru dan murid, yang banyak juga menimbulkan reaksi dari orang tua murid. Di satu sisi, ada oknum guru yang diluar batas, dan di sisi lain ada juga orang tua murid yang terlampu keras bereaksi.

Mengembalikan Martabat Guru?

Pada mulanya profesi guru adalah profesi yang sangat dihormati, selain tidak banyak yang bisa menjadi seorang guru, sekolah profesi tersebut memang hanya bisa diakses oleh para keturunan priyai atau orang-orang dengan ekonomi yang mantap. Murid-murid pada masa itu sangat menghormati para guru-gurunya, bahkan ketika lewat di depan guru mereka akan sedikit membungkukkan badanya.

Berbeda dengan sekarang, profesi guru dapat diakses oleh semua orang, dan bahkan para sarjana dari jurusan non pendidikan. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap proses pembelajaran. Guru yang tanpa pemahaman yang baik atas proses pembelajaran tidak akan mampu mengelola kelas, selain itu, tanggung jawab moral atas profesinya tentu akan berkurang.

Banyak dikalangan guru sendiri menganggap bahwa profesi guru hanya sekedar “profesi pengganjal perut”, tanpa memperhatikan tanggung jawab besar untuk mendidik para murid-muridnya. Sulitnya mencari pekerjaan pada saat ini juga membuat para sarjana berfikir, lebih baik menjadi guru walaupun dengan gaji kecil, dari pada menganggur.

Dengan keadaan semacam ini, komitmen para guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa menjadi merosot. Mereka hanya bekerja berdasarkan target materi yang ditetapkan saja, kurang memperhatikan, atau bahkan tidak sempat memikirkan kebutuhan siswa. Guru semacam ini biasanya kurang disukai, karena dianggap hanya sebagai penjual jasa biasa. Lalu bagaimana cara mengembalikan martabat guru?

Menurut saya, citra dan martabat guru dapat dikembalikan kepada kondisi semula dengan beberapa cara. Pertama, profesionalisme. Seorang guru harus berasal dari jurusan kependidikan, karena lulusan ini dianggap sebagai lulusan yang memahami pokok-pokok metode, strategi, dan konsep-konsep materi pembelajaran.

Kedua, perbaikan gaji. Guru yang masih harus memikirkan masa depan kesejahteraannya mana mungkin bisa fokus mendidik siswa. Oleh sebab itu, perbaikan gaji para tenaga pengajar tersebut patut untuk diperbaiki, agar bisa fokus mengembangkan strategi, dan metode mengajar yang baik.

Ketiga, seleksi ketat. Seleksi ketat tidak hanya dilakukan ketika guru melamar sebagai tenaga pendidik di suatu sekolah, namun sejak pendirian fakultas-fakultas kependidikan, sampai pada penerimaan calon mahasiswa pada fakultas tersebut harus diseleksi dengan baik. Karena profesi memiliki efek domino yang panjang, guru sebagai pendidik akan membangun infrastruktur sumber daya manusia, jika mengalami keselahan, maka kesalahan tersebut akan merembet pada profesi-profesi lain yang “dilahirkannya”.

Selain ketiga hal tersebut, guru juga harus memiliki sikap yang baik, dimana guru sebagai orang tua murid selama berada di sekolah bertanggung jawab menjaga para murid dengan sepenuh jiwa, tidak bersikap k4s4r atau bahkan melakukan t!nd4k “kԑkԑras4n”.

No comments for "Mengembalikan Citra dan Martabat Guru di Sekolah"