Sibuk Saling Menghujat, Lupa Berbuat Untuk Umat

Konon Agama Islam telah masuk ke Nusantara sejak abad ke 7, dan apabila merujuk pada penemuan kuburan Fatimah Binti Maimun di Desa Leran Kec. Manyar Kab. Gresik yang tertulis dalam batu nisannya wafat pada jum’at, 7 Rajab 475 Hijriyah/ 2 Desember 1082 M, atau sekitar abad ke 11, maka Hal ini berarti Umat Islam telah tinggal di Nusantara selama sekitar 10 Abad lamanya.

Kondisi Keumatan yang Shaleh Ritual, Namun Tidak Secara Sosial

Sepuluh abad bukanlah usia yang yang muda, apa lagi jika dibandingkan dengan usia manusia, mungkin telah menghabiskan sekitar 10 umur manusia tertua di Amerika Serikat misalnya. Atau jika dibandingkan dengan angka harapan hidup masyarakat Indonesia yang berkisar pada 73 tahun pada wanita, hal ini berarti Islam telah hadir di Nusantara kisaran 13 X umur wanita Indonesia tahun ini.

Bisa dikatakan umur umat islam di Indonesia sudah sangat tua, namun apalah arti umur, dalam sebuah kiasa dikatakan “umur hanyalah kiasan jarak dan angka”. Umur tua tidak menjanjikan seseorang menjadi dewasa, begitu pula yang terjadi pada umat islam dewasa ini.

Dengan umurnya yang sudah melampaui umur suatu negara di penjuru bumi, mungkin umat islam telah banyak menciptakan prestasi dan karya-karya, sebagaimana umat islam di belahan bumi lain, yang sanggup menaklukan konstantinopel, membuat kota madani, dan bahkan menciptakan teknologi nuklir.

Baca Juga: Hari Santri Nasional dan Ujian Berat Kaum Sarungan

Lalu bagaimana dengan umat islam Indonesia hari ini? sebagai suatu komunitas, islam di nusantara telah banyak mengukir prestasi, seperti membangun sebuah kerajaan atau resolusi jihad yang mampu membakar semangat perlawanan pada tanggal 10 november. Tapi itu dulu, duluuu sekali, yang tidak lagi kita temukan sekarang.

Keberhasilan Islam dapat kita lihat hari ini dengan adanya fakta bahwa umat islam merupakan komponen terbesar yang mengisi jumlah penduduk di Indonesia, dan bahkan masuk dalam negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, walaupun kita bukan bangsa Arab, yang notabene adalah tempat kelahiran Agama tersebut.

Umat islam di Indonesia dapat kita katakan sebagian besar merupakan pemeluk agama yang taat, hal ini dapat kita lihat dengan kasat mata bagaimana setiap agenda tabligh akbar, majlis shalawat, dan kegiatan keagamaan lainnya yang hampir selalu dibanjiri oleh jama’ah.

K.H. Ahmad Muwafiq, atau Gus Muafiq, Pendakwa Kondang Kelahiran Lamongan Yang Sedang Diminati Milenial
Sebagai suatu fakta hal itu memang benar adanya, namun kemudian apakah setelah menghadiri jama’ah tabligh/tabligh akbar, jama’ah shalawat, maupun orasi-orasi keagamaan (Baca: Islam) lainnya, apakah umat menjadi umat yang shaleh?

Jika kita menggunakan dua parameter “Shaleh Ritual Dan Shaleh Sosial”, maka orang-orang yang mendatangi tabligh akbar, dan jama’ah shalawat, serta majlis keagamaan lainnya merupakan orang-orang yang shaleh secara ritual, namun belum tentu mereka memiliki keshalehan secara sosial.

Kondisi Umat Islam di Nusantara Saat Ini

Akhir-akhir ini kita tak banyak mendengar tentang resolusi dari islam, kita hanya mendengar tentang ocehan-ocehan, saling mencelah, mencari aib dan kesalahan dari golongan lain, saling merendahkan, menyombongkan golongannya sendiri, berebut jabatan struktural, bahkan sampai penunggangan umat hanya untuk mencari jabatan kenegaraan tertentu. Yang semua itu hampir dapat dikatakan UN FAEDAH untuk kemaslahatan “umat islam pada umumnya”.

Sebagai seorang muslim, kita sebenarnya sudah banyak tahu tentang perbedaan, baik agama, golongan, suku, ras, etnis dan lain-lain, karena hal ini merupakan sunnahtulloh yang tidak bisa ditolak lagi, hal ini juga disampaikan dalam firman Allah S.W.T.  “wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudia Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal….” (Q.S. Al-Hujarat : 13).

Dengan menjadi seorang muslim dengan sendirinya kita akan menjadi seorang yang memiliki toleransi terhadap perbedaan, baik perbedaan pendapat maupun sampai pada perbedaan yang bersifat qodrati, seperti persoalan warna kulit, ras, suku, maupun bentuk rupa.

Namun kenyataannya yang terjadi saat ini adalah, sering kali kita bertengkar hanya persoalan perbedaan menafsirkan “suara ayam” ada yang menafsirkan suaranya menjadi kukurunuk, kukuruyuk, dan kongkorongkong, padahal menurut Cak Nun, yang selalu disampaikan dalam setiap dakwahnya dibeberapa daerah, “sebenarnya yang paling tahu tentang suara ayam adalah ayam itu sendiri”, lalu kenapa kita perdebatkan dengan begitu kerasnya?.

Dalam beragama kita juga banyak mempermasalahkan suatu yang hanya menjadi cabang keagamaan, misalnya persoalan membaca shalawat/maulid dhibak, pakaian cingkrang, kunut, cadar, tahlilan, dan berbagai persoalan lain yang bukan merupakan pokok dari ajaran islam itu sendiri. Dan yang paling anyar tentang persoalan ini adalah kasus yang dialami oleh Gus Muafiq yang banyak dihujat hanya karena mungkin salah memakai diksi “kurang tepat”, yang sesungguhnya bisa diselesaikan dengan saling bertabayun.

Selain karena persoalan perbedaan pendapat, ributnya umat islam tentang hal-hal tersebut di atas menurut hemat kami adalah karena didorong oleh sentiment golongan. Apapun klo dari golongannya akan dibenarkan, dan sebaliknya, apapun jika berasal dari golongan lain akan disalahkan. Hal ini tentu harus menjadi perhatian untuk setiap Muslim agar dapat segera diselesaikan (disudahi), minimal dari diri kita sendiri.

Setali tiga uang, para pemuka agama juga tidak memeberikan contoh yang baik pada umat, mereka banyak mengkhotbahkan tentang perbedaan-perbedaan itu dengan mencelah golongan lainnya, sehingga saling mencelah antar penceramah menjadi pemandangan yang jamak kita jumpai di dunia maya maupun dunia nyata.

Baca Juga: Membentuk Karakter Cinta Tanah Air di Sekolah

Disadari atau tidak, perilaku para pemuka tersebut tak hayal hanya menjadi pemantik dari “kedunguan” umat, sehingga ikut mendengungkan suara-suara sumbang dari para penceramah. Ditambah dengan perilaku para pengais rejeki dari konten media sosial, baik berupa buzzer, yutuber maupun dari media lainnya yang sering kali memotong isi pembicaraan para penceramah, sehingga pesan yang disampaikan tidak dapat diterima, yang akhirnya memicu pertikaian antar umat islam, dan bahkan umat lain.

Sibuk Saling Menghujat, Lupa Berbuat Untuk Umat

Sebagai sebuah penutup, mari kisa saling bertabayun, dan saling berintropeksi kenapa kita banyak saling hujat padahal ada kesamaan prinsip dalam beragama yang harus segera kita tuntaskan, dan bahkan dapat secara bersama-sama kita bereskan sebagaimana sering kita dengar seruan agama, “fastabiqul khairat”

Masih banyak umat islam yang hidup di bawah angka kemiskinan, tidak sedikit masyarakat kita yang kurang gizi, kelaparan, tidak punya pekerjaan, sulitnya akses pendidikan, tergusur oleh kepentingan penguasa dan elit, teraniaya, penanganan kesehatan yang tidak memihak pada rakyat, dan masih banyak lagi mereka yang masuk dalam kelompok mustad’afin, mustahiq, dan kelompok lemah lainnya yang membutuhkan uluran dan kesadaran kita.

Lalu kenapa kita masih Sibuk Saling Menghujat, dan Lupa Berbuat Untuk Umat?

No comments for "Sibuk Saling Menghujat, Lupa Berbuat Untuk Umat"