Memahami Politik Identitas yang Tak Terhindarkan
Politik identitas |
Memahami Politik Identitas yang Tak Terhindarkan. 2019 adalah tahun politik, semua
kepentingan politik akan dipertaruhkan pada tahun itu, bahkan rasa persaingan
electoral sudah mulai terasa pada tahun 2018. Hal ini tentu menjadi kabar baik
bagi Negara bangsa Indonesia, betapa antusiasnya publik Indonesia dengan
isu-isu terkait politik, namun juga menjadi kabar buruk bagi kedewasaan
berpolitik baik para elit maupun rakyat biasa, hal ini dikarenakan perilaku
politik yang dipertontonkan ke halayak ramai sering kali tidak mendidik sama
sekali.
Memahami Politik Identitas
Apapun yang dipertontonkan
presiden di khalayak ramai tentu akan selalu berimplikasi politik, namun pada
tahun politik seperti sekarang ini, isu apapun akan terasa sangat politis,
bahkan hiburan pada Opening Ceremony Asean
Game 2018 kemarin bisa memicu penggorengan isu politik, mulai dari ketidak
jujuran jokowi sebagai salah satu pemeran dalam video pembuka hajatan se asean
tersebut, sampai pada pro-kontra pemakaian stuntman
(pemeran pengganti) aksi jokowi menunggang kuda besi. Walaupun sebenarnya
perbincangan warga Negara (citizen)
tidak lebih heboh dari perbincangan di dunia maya. Hal ini meunjukkan bahwa
suasana politik masyarakat Indonesia sebenarnya tidak sepanas yang kita lihat
dalam tontonan di media massa, elektronik, cetak, maupun apa yang
diperbincangkan masyarakat net (netizen)
di dunia maya.
Panasnya tahun politik selalu
diwarnai dengan isu-isu seputar Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA),
isu-isu terkait SARA memang sangat mudah untuk dimainkan di Indonesia, para
pemain politik seolah sadar betul dengan kenyataan tersebut, sehingga mereka
juga sangat piawai dalam mengolah isu yang sebenarnya remeh-temeh menjadi isu
yang bahkan selalu diperbincangkan masyarakat luas.
Sebagaimana kita saksikan di
diberbagai penjuru daerah di Indonesia, isu SARA hampir tidak terelakkan dari
panggung politik, bahkan dalam masyarakat yang sangat majmuk seperti di Jakarta
sebagai ibu kota Negara, isu SARA juga dapat digoreng dengan mudah untuk
tujuan-tujuan politik sesaat, sebagaimana kasus yang menimpa mantan gubernur
DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) yang syarat dengan kepentingan
politik sesaat. Hal serupa juga mungkin akan terasa pada masa pemilihan
presiden dan wakil presiden mendatang.
Pemilihan KH. Ma’ruf Amin sebagai
calon wakil presiden misalnya, tentu bukan tanpa sebab. Hal ini dikarenakan
sepanjang awal pencapresan 2014 dan selama pemerintahannya Joko Widodo selalu
ramai dengan isu-isu SARA, dan permasalahan dengan ulama lainnya yang
memberikan kesan pemerintahan jokowi tidak pro terhadap ulama, dan terkesan
berhadapan. Dan pemilihan Ma’ruf amin sebagai wakil presiden adalah sebagian upaya
untuk menepis anggapan tersebut.
Dilain sisi, pasangan
prabowo-sandi juga melakukan maneuver
yang kurang lebih sama, untuk mencitrakan diri dekat dengan ulama. Hal ini
terlihat sesaat sebelum mendaftar di KPU pasangan ini melaksanakan solat jum’at
terlebih dahulu di masjid sunda kelapa, dan segera setelah itu mengumumkan
rencana untuk bertemu dengan Riziq Syihab.[1]
Dari kedua cerita singkat di atas, terlihat betapa kedua pasangan kandidat
capres-cawapres tidak ingin terperangkap kedalam isu SARA, dan berusaha
mencitrakan diri dekat dengan ulama.
Politik Identitas Antara Ya dan Tidak
Abdillah[2]
menjelaskan bahwa politik identitas merupakan politisasi menyangkut
perbedaan-perbedaan yang didasarkan atas ras, politik etnis atau
primordialisme, pertentangan agama, dan kepercayaan. Dalam pengertian ini maka
kita dapat memahami bahwa politik identitas adalah upaya untuk mempolitisasi[3]
perbedaan-perbedaan ras, suku, agama atau kepercayaan, golongan, dan
perbedaan-perbedaan lain yang bersifat melekat pada suatu masyarakat/kelompok.
Politik identitas berusaha menumbuhkan sikap “kekitaan”, sentiment golongan tertentu
untuk memilih salah satu calon. Dari pengertian yang kedua ini maka sebenarnya
politik identitas tidak sebegitu menakutkan seperti pada pengertian yang
pertama.
Dimanapun politik berada,
sebenarnya politik pada akhirnya adalah persoalan identitas. Sebagaimana kita
banyak melihat para calon peserta pemilu selalu berusaha mengidentifikasikan
diri kedalam identitas masyarakat yang memiliki banyak calon pemilih. Misalnya
pada pemilu-kada provinsi jawa timur, calon peserta pemilu akan berusaha
mengidentifikasikan diri kedalam masyarakat Nahdiyin, hal ini disebabkan jawa
timur memiliki populasi masyarakat NU yang sangat besar, dan selalu menjadi
lumbung suara yang selalu diincar. Hal ini mungkin juga akan terjadi pada
masyarakat Muhamadiyah, atau komunitas lain yang juga memiliki massa besar.
Politik identitas sebenarnya
tidak hanya terjadi di Indonesia saja, bahkan di Negara yang oleh beberapa
pihak dianggap sebagai Negara yang memiliki kedewasaan politik yang sangat
tinggi seperti Amerika masih saja ditemukan politik identitas. Masyarakat tidak
hanya memilih karena rasionalitas, atau program-program yang ditawarkan calon
presiden, seperti permasalahan layanan kesehatan, persoalan pengangguran, dan
pendidikan, tetapi juga posisi kandidat atas persoalan-persoalan komunitas
seperti homoseksual, pemakaian hijab dan cadar, aborsi dan sentiment kelompok lainnya.[4]
Politik identitas akan selalu
dibutuhkan oleh para calon untuk memperebutkan suara, oleh karena itu politik
identitas akan selalu mewarnai dunia perpolitikan di Indonesia. Dan sejujurnya
sah-sah saja memperjuangkan suku, agama, atau golongan tertentu dalam politik. Namun
demikian, setidaknya kita dapat menarik dan mengklasifikasikan politik
identitias kedalam dua bentuk yang jelas, yaitu politik identitas yang beradab dan politik identitas yang bernuansa kebencian. Pengidentifikasian diri
para kandidat kedalam suatu kelompok masyarakat, kultur, dan agama merupakan
contoh politik identitas yang beradab. Sementara contoh politik identitas yang
bernuansa kebencian adalah menjelek-jelekkan kelompok, etnis, suku, dan agama[5]
lain yang memiliki pandangan politik yang berseberangan.
Baca Juga: Tradisi Unik di Lamongan; Wanitahlah Yang Melamar Laki-laki
Oleh karena itu, jika dinilai tidak mungkin
untuk lepas dari politik identitas dalam berdemokrasi di Indonesia, maka para
elit politik harus bisa mengambil jarak yang tegas antara politik identitas
yang bernuansa kebencian, dan politik identitas yang masih dirasa sah untuk
dilakukan. Dan selanjutnya semua pihak harus memastikan politik identitas masih
dalam taraf keberadaban. Karena seperti yang telah tercantum dalam ideologi
pancasila bahwa kita semua menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Sumber Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgDaybVEyCVvle6Kh4Yk9b9r2o-9MTHQYVeB_VIWVQsXOkpTMcXoGTibZTC0w2zBObz_TKSVsxnAm-2QXis6mGumYY96bZ_yq83DsRJqLoqB0LnH4g4u_2KOZ0Tq5i2D0lx7XGeyoRRoZ4/s1600/Islam+Politik.jpg
[1] https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13311/politik-identitas-tak-terhindarkan-dan-tak-selalu-buruk.html
[2]
Maarif, Ahmad Syafii, Politik Identitas
dan Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Democracy Project, 2012.
[3]
Upaya untuk mengambil keuntungan politik, pemenangan salah satu calon yang
diusung oleh kelompok atau partai
[4] Ibid,
https://crcs.ugm.ac.id
[5]
Penggunaan terminologi “kafir” sebenarnya memang terdapat dalam ajaran agama,
namun kemudian akan terasa riskan dan cenderung akan menimbulkan sentiment
keagamaan yang memiliki daya hancur yang sangat tinggi, oleh karena itu patut
difahami penggunaan terminology “kafir” untuk menuding kelompok lain adalah
kurang tepat, jika dilihat konteks pemahaman masyarakat Indonesia saat ini.
No comments for "Memahami Politik Identitas yang Tak Terhindarkan"
Post a Comment
Berikan Komentarmu di Sini, Untuk Beropini, Bertukar Ide dan atau Sekedar Sharing..