Mental Bangsa Terjajah, Dibalik Minta Foto Bareng Orang Asing
Mental Bangsa Terjajah?. Pernahkah kita memperhatikan di tempat-tempat
yang ramai pengunjung lokal dan mancanegara, seperti pantai kuta, candi
Borobudur, dan lain-lain? Di tempat-tempat tersebut sering kali kita jumpai wisatawan
lokal sedang meminta foto bersama bule-bule kulit putih, walaupun sebenarnya
ada juga wisatawan mancanegara dengan kulit berwarna, tapi sedikit sekali yang
meminta foto bareng dengan mereka. Hal-hal semacam ini sudah dapat dipastikan
akan kita temui dengan mudah, atau bahkan mungkin kita sendiri yang
melakukannya.
Apa yang sebenarnya melatar
belakangi mereka meminta foto bersama dengan para bule-bule berkulit putih?
Pertanyaan selanjutnya adalah,
apakah para bule yang sedang diajak berfoto adalah seorang artis? Orang
berpengaruh? Atau orang yang terkenal lainnya? Jawabannya adalah tidak! Mereka
bukan sama sekali seorang artis atau bahkan orang yang berpengaruh lainnya, ya
orang sipil biasa seperti kita. lalu mengapa kita begitu berminatnya untuk mengajak
mereka berfoto?
Ada semacam persepsi yang jamak
dimiliki orang Indonesia terhadap orang berkulit putih, lebih khusus adalah
orang asing. Mereka dianggap sebagai mahluk yang “ideal” dibandingkan dengan
kulit asli Indonesia, coklat, hitam atau sawo matang. Persepsi tentang
ketampanan atau kecantikan sering kali diidentikan dengan orang yang memiliki
kulit putih, dan berhidung mancung. Walaupun jika ditanya beberapa dari kita
akan menjawab dengan jawaban yang normatif, seperti “kecantikan itu subjektif,
tergantung pada siapa yang melihat”, atau jawaban lain yang bernada sama.
Namun kita tidak bisa menafikan
fenomena anak kecil yang mengupload
video pendeknya, dan menjadi viral karena terlihat “ganteng”, dan memiliki
kulit putih. Ternyata belakangan dietahui bahwa kulit sang anak berwarna hitam/coklat,
dan sontak memicu terjadinya bullying
terhadap anak tersebut. Dan akhirnya anak kecil tidak bersalah itu dihujat
habis-habisan oleh warga net (netizen). Cerita pendek ini seolah memberi tahu
kita bahwa persepsi publik di Indonesia bahwa orang yang ganteng adalah orang
yang memiliki kulit bersih, dan putih. Tentu saya tidak sedang berbicara rasis,
namun hanya sedang berusaha menceritakan bagaimana kejadian yang menimpa anak
kecil tersebut.
Selain itu, jika kita lihat
pemutaran film yang menontonkan orang eropa yang biasanya memiliki hidung
mancung, dan orang korea yang memiliki kulit putih, berbadan kurus, semacam
standart kecantikan orang korea dalam persepsi kita. Tiba-tiba juga menjadi
standart orang Indonesia. Hal ini bisa kita lihat dengan melihat bintang
film/sinetron yang dijadikan sebagai tokoh utama adalah mereka yang memiliki
standart kecantikan yang mendekati orang asing yang memiliki hidung mancung,
dan berkulit putih. Setidaknya ini dapat menjelaskan bagaimana persepsi kita
terhadap kecantikan atau ketampanan.
Baca Juga: Memotret Dusun Lengor di Lamongan
Tidak habis sampai disana,
bagaimana berbagai iklan produk pemutih wajah, pemutih kulit dan lain-lain adalah
menunjukkan bagaimana keinginan publik Indonesia untuk memiliki kulit yang
dianggap “ideal”. Fenomena bagaimana masyarakat Indonesia pada umumnya sangat
suka dengan kulit putih, adalah fenomena yang jamak terjadi di Negara-negara
bekas jajahan di wilayah asia. Dan rasanya sulit sekali jika fenomena tersebut
tidak dikaitkan dengan kolonialisme tempo itu, karena yang kebetulan menjajah
kita adalah orang-orang berkulit putih.
Kolonialisme Gaya Baru
Nurhadi[1]
menyebutkan bahwa “Mentalitas “budak”
masih melekat dalam diri kita, kemudian mencoba “menjadi tuan” dengan sejumlah
perilaku identitas”. Hal ini membuat krim pemutih kulit dan operasi plastik
laris manis di Indonesia, hanya untuk memiliki kulit putih dan hidung mancung,
standart kecantikan dan ketampanan yang melekat pada tubuh orang-orang barat.
Kita berusaha untuk menjadi tuan,
menjadi orang barat, mulai dari mengecat rambut menjadi pirang, menggunakan
bahasa ingris yang jika meminjam terminologi orang jawa sering disebut sebagai
“kemingris”, dan bahkan masalah cita rasa pun kita mengejar makanan barat. Kita
memilih ayam goreng KFC dibanding dengan ayam goreng “yuk sri” di pinggir
jalan. Kita lebih memilih makanan yang dihidangkan di outlet-oetlet makanan
cepat saji barat dibanding dengan makanan sejenis yang dihidangkan di warung
khas Indonesia.
Setelah perang dunia kedua, model
kolonialisme mengalami pergeseran dari bentuk penjajahan fisik menjadi
non-fisik. Penjajahan beralih diranah sosial, ekonomi, budaya dan politik.
Model kolonialisme ini memang sering tidak terasa oleh kita, namun berdampak
nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jepang misalnya sebagai Negara di kawasan Asia
yang mengikuti perang dunia ke dua, juga telah mengalihkan model kolonialismenya
dalam industri content seperti komik
manga, kartun, film animasi, pop J-rock, makanan, fashion, dan bahasa Jepang,
begitu juga Negara-negara Eropa, Amerika, Korea, dan lain-lain. Upaya untuk
mengekspor Industri budaya semakin terlihat nyata, dan Indonesia adalah salah
satu Negara tujuan produk-produk tersebut.
Baca Juga: Memotret Dusun Lengor di Lamongan
Dan dalam sejarah penjajahan, kolonialisme model
baru ini memperlihatkan bagaimana parilaku orang-orang yang terjajah tersebut
justru bangga, dan menjadikan “tuan”nya sebagai role model. Bagaimana perilaku kita saat bertemu wisatawan dari
barat adalah cukup menggambarkan kita masih dalam keadaan “terjajah” setidaknya
dalam alam pikiran kita.
Gambar Hanya Sebagai Ilustrasi.
Sumber Gambar: https://cdn.brilio.net & http://3.bp.blogspot.com/
[1] Artikel no 47 dipresentasikan dalam Seminar Rumpun Sastra di FBS UNY, Yogyakarta pada 7 Desember 2007; kode: poskolonial sebuah pembahasan
No comments for "Mental Bangsa Terjajah, Dibalik Minta Foto Bareng Orang Asing"
Post a Comment
Berikan Komentarmu di Sini, Untuk Beropini, Bertukar Ide dan atau Sekedar Sharing..