Sistem Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik

Sistem Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik. Dunia pesantren sudah bergeliat bahkan sebelum “nama Indonesia” belum ada, dan sampai sekarang pesantren masih eksis dibelantara dunia pendidikan Indonesia, artinya pesantren adalah institusi pendidikan yang konsisten dalam melakukan misi pendidikan umat. Pesantren memiliki daya tarik tersendiri dalam menggait calon santri, semisal menawarkan pendidikan yang terjangkau, alumni yang mahir dalam membaca kitab klasik/kitab kuning, kiai yang karismatik, jaminan calon santri yang akan digodok lebih berahlak dibanding dengan sekolah-sekolah diluar institusi pesantren. Yang menarik dalam dunia pendidikan adalah Pendidikan pesantren dibentuk sedemikian rupa sehingga alumnusnya memiliki loyalitas yang sangat kuat kepada almamaternya.

Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik

Loyalitas alumni pada pesantren dapat kita lihat dari sejauh mana alumni masih akan terhubung dengan pesantren dimana dia nyantri sebelumnya, bagaimana alumnus membentuk suatu oraganisasi dalam setiap wilayah dimana para santri melanjutkan studinya, apakah keluarga terdekatnya masuk dalam pesantren yang sama, aktif dalam kegiatan alumni, memberikan dukungan financial untuk kegiatan yang berhubungan dengan pesantren almamaternya dan bahkan keturunannya yang masih dipecayakan untuk menimbah ilmu dalam pesantren almamater orang tuanya.


pendidikan pesantren suatu otokritik
Sumber: pixabay.com
Wikipedia berbahasa Indonesia menyebutkan bahwa pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tradisional yang dalam penyelenggaraan pendidikanya, pesantren menyediakan asrama untuk para santri/siswa tinggal dan menetap selama periode tertentu. Pesantren diasuh oleh figure yang disebut kiai sebagai pembimbing atau guru.[1] Dalam terminologi ini pesantren merupakan “lembaga pendidikan tradisional”, pada perkembangannya banyak pesantren yang diberikan nama “Pondok Modern”, atau pesantren modern, namun sejauh ini penulis masih belum tahu sejauh mana tingkat kemodern-an sebuah pesantren. Artikel ini hanya membahas bagaimana tradisi pemikiran kritis dalam dunia pembelajaran di pesantren, yang berdasarkan pengalaman penulis ketika nyantri selama masa sekolah menengah, dan juga ditambah dengan pengamatan penulis dewasa ini.

Metode Berpikir Kritis

Dalam pergolakan dunia pendidikan, Pesantren memiliki tradisi pemikiran yang unik, berbeda dengan tradisi pemikiran lembaga diluar pesantren. Sementara itu, metode pemikiran dewasa ini berkembang begitu pesat, kususnya dalam hal teori pembelajaran, diantaranya adalah metode pemikiran kritis. Metode berpikir kritis diartikan sebagai berikut;

Menurut Bayer, berpikir kritis diartikan sebagai kemampuan untuk menilai valid atau tidaknya suatu informasi yang didapat, bisa membedakan antara informasi yang relevan dengan informasi yang tidak relevan, dan mampu mengidentifikasi antara fakta dengan opini. Sementara itu Chance, menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menganalisis suatu fakta kemudian membuat gagasan dan perbandingan untuk dapat menarik kesimpulan terhadap masalah yang dihadapi.[2] Dalam makna yang lebih sederhana kita bisa mengatakan bahwa berpikir kritis adalah suatu proses menafsirkan, dan menanyakan suatu informasi dengan beberapa gagasan-gagasan dan perbandingan-perbandingan.

Lebih lanjut, Paulo Freire menjelaskan bahwa pendidikan harus diselenggarakan dengan prinsip-prinsip kritis, sebagai berikut;[3]

1.      Metode dialog merupakan metode yang tidak bisa ditawar dalam penyelenggaraan pembelajaran
2.      Mendorong peserta didik untuk menjadi pemikir yang kritis
3.      Merangsang refleksi dan aksi yang bernar terhadap realitas
4.      Merangsang kreatifitas

Dari uraian di atas maka dapat kita ketahui bahwa pendidikan seharusnya diselenggarakan dengan konsep-konsep “kebebasan dalam berfikir”, serta senantiasa memfasilitasi santri agar dapat melihat dan mengkritisi realitas sosial yang ada, selanjutnya pendidikan dalam pesantren juga harus diselenggarakan dengan maksud agar santri tidak terlepas jauh dari realitas sosialnya, agar santri dapat lebih kritis terhadap fenomena sosial, ekonomi, budaya, dan pilitk yang ada.

Kasus Penggunaan Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Pesantren

Pesantren yang berdiri sejak lama, yang kuat memegang tradisi pesantren, dan tentunya akan memiliki singgungan dengan tradisi yang berkembang sekarang, baik dalam hal metode pembelajaran, strategi pembelajaran, dan instrument pendidikan yang digunakan, menjadi menarik untuk kita bincangkan. Misalnya metode mengajar yang biasa digunakan dalam pembelajaran pesantren yang berupa “ustadz membaca, santri mendengar dan mencatat”, metode ini biasanya digunakan oleh ustadz yang berusia “sepuh”, atau bahkan ustadz yang masih muda, metode ini masih dirasa relevan oleh para pengajar, namun dalam perkembangan dunia pendidikan sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para pemikir, seperti Paulo Freire, dia menyebutkan bahwa metode yang disebut di atas adalah metode monologis, dimana tidak ada timbal-balik antara ustadz dengan santri, metode seperti ini tidak menumbuhkan sikap kritis dari seorang santri, karena pikirannya akan terbiasa dengan pendektean yang dilakukan oleh para ustadz, dan tidak merangsang perasaan untuk berusaha menanyakan atau membandingkan informasi yang telah dia peroleh tersebut, dan pada akhirnya informasi yang diterima akan ditelan secara mentah. Padahal, metode pembelajaran kritis dipercaya akan membuat peserta didik akan lebih sadar akan realitas sosial dan masalah yang akan dihadapinya kelak dikemudian hari.

Selain metode di atas, dalam pembelajaran pesantren, seringkali santri yang berusaha menanyakan seputar informasi yang dia dapatkan dari para ustadz akan dibatasi, atau bahkan tidak diperbolehkan dengan cara yang sangat halus, dimana ustadz akan mencontohkan “bagaimana kisah bani israil yang suka bertanya, dan pada akhirnya akan mempersulit mereka sendiri”, dalam cerita ini, bani israil sekali waktu bertanya pada nabinya, seputar seekor sapi,[4] dan parahnya kebanyakan santri akan menerima, membenarkan apa yang di informasikan oleh para ustadz, dan pada akhirnya seorang santri yang berusaha menanyakan suatu kasus akan merasa tidak nyaman, selanjutnya sikap kritisnya akan menghilang.

Faktor – faktor yang Membuat Cara Berpikir Kritis Sulit Berkembang dalam Pesantren

Kasus di atas adalah contoh bagaimana tradisi pemikiran kritis merupakan pemikiran yang kontra produktif dengan dunia pesantren. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah konsep barokah, takdzim buta, dan tingkat kreatifitas pengajar yang bisa dibilang kurang;

1.      Konsep Barokah
Dalam dunia pesantren sudah tidak asing lagi istilah “barokah”, barokah merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut “mu’jizat”, atau keajaiban yang diperoleh santri setelah selesai menempuh jenjang pendidikan dalam pesantren, barokah ini bisa berupa kemudahan hidup, kelancaran rizki, diterima diperguruan tinggi bonafit, dan lain sebagainya. istilah ini masih sangat absurd untuk dapat diuraikan, namun banyak dari lulusan pesantren mengakui banyak mendapatkan barokah dari para kiai, dan ustadz setelah lulus dari pesantren.

Untuk mendapatkan barokah, santri tidak boleh terlalu kritis, dan menerima konsep-konsep yang disampaikan oleh para ustadz dan kiai,[5] dan jangan sampai menyakiti hati para kiai dan ustadz.

konsep tersebut di atas membuat daya nalar santri menjadi sangat terbatasi, karena daya kritis dan kreativitasnya tidak ditumbuhkan, bahwakan cenderung terjadi pelemahan, karena terlalu mengharapkan barokah.

2.      Takdzim Buta
Pendidikan diartikan tidak hanya sebatas kegiatan transfer pengetahuan saja, namu juga kegiatan transfer nilai, dari seorang guru kepada murid. Untuk dapat menerima ilmu yang diteteskan kepadanya, santri harus memiliki sikap takdzim kepada gurunya. Takdzim dalam bahasa ingris bisa disebut dengan “respect”, yaitu sikap hormat kepada ustadz yang mengajar.

A. Ma’ruf Asrori menjelaskan bahwa sikap ta’dzim tidak hanya sikap sopan dan menghormati, namun lebih luas lagi takdzim dimaknai sebagai; Konsentrasi dan memperhatikan, Mendengarkan nasehat-nasehatnya, dan Meyakini dan merendahkan diri kepadanya.[6] Matinya sikap kritis seorang santri terhadap suatu informasi yang diperoleh terjadi akibat adanya sikap takdzim buta, yaitu sikap dimana mematikan nalar untuk menanyakan, membandingkan dan mempermasalahkan informasi-informasi, akibat adanya konsep untuk menerima dan meyakini semua yang disampaikan oleh kiai atau ustadz yang mengajarnya.

3.      Tingkat Kreatifitas Pengajar Yang Rendah
Masalah yang paling krusial sebenarnya ada pada bagian ini, penulis menduga, tingkat kreatifitas seorang ustadz dalam memahami metode-metode, strategi-strategi pembelajaran yang rendah, membuat ustadz lebih nyaman untuk mengajar dengan menggunakan metode ceramah semata. Hal ini dilakukan dikarenakan metode ini bisa dibilang sangat sederhana, pembelajaran dapat dilaksanakan tanpa harus seorang ustadz membuat suatu persiapan yang berlebihan sebelumnya, cukup dengan menguasai materi saja, sudah dapat mengajar/menyampaikan materi yang dibebankan kepadanya.

Dengan kata lain menurut hemat penulis, bahwa sebenarnya para ustadz tidak mau keluar dari zona nyamanya, pasalnya dengan mengajar bertahun-tahun, tentunya ustadz-ustadz akan hafal betul setiap materi yang dibebankan kepadanya, dengan metode ceramah, beliau tinggal membacakan ulang apa yang dihafalnya, tanpa harus membuat istrumen-istrumen lain ketika menggunakan metode-metode pembelajaran yang lebih bervariatif.


Dari uraian di atas, seyogyanya perlu adanya rekonstruksi dunia pendidikan pesantren agar lebih humanis, untuk memnganggap santri sebagai subyek, bukan sekedar obyek pendidikan, santri harus diajak berdialog, tidak hanya diberi pengetahuan layaknya bejana kosong yang harus diisi oleh para ustadz dan kiai.

Pendidikan pesantren harus mengakui bahwa santri memiliki pengalaman-pengalaman sehingga harus diajak berdialog untuk santri dapat mengonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperoleh sebelumnya, selanjutnya agar pengetahuan dan materi yang disampaikan oleh para pengajar akan lebih tinggi tingkat kebermaknaannya bagi santri.



[2] http://www.Pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-berpikir-kritis-menurut-para-ahli/
[3] Freire dalam listiono santoso, dkk., Epistemology Kiri (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 142
[4] lebih lanjut silahkan cari cerita ini sendiri, karena artikel ini tidak berusaha untuk membahas cerita ini. (strategi pembatasan santri untuk bersikap kritis tentu saja memiliki variasi dari setiap pengajar)
[5] Walaupun harus kita garis bawahi bahwa konsep yang disampaikan adalah konsep-konsep yang bersifat positif
[6] A. Ma’ruf Asrori dalam http://www.makalah. info/2014/10/sikap-tadzim-siswa-kepada-guru-dalam.html

2 comments for "Sistem Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik"

Post a Comment

Berikan Komentarmu di Sini, Untuk Beropini, Bertukar Ide dan atau Sekedar Sharing..