Sistem Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik
Pembelajaran Pesantren; Suatu Otokritik
Loyalitas alumni pada pesantren dapat kita lihat dari sejauh mana alumni masih akan terhubung dengan pesantren dimana dia nyantri sebelumnya, bagaimana alumnus membentuk suatu oraganisasi dalam setiap wilayah dimana para santri melanjutkan studinya, apakah keluarga terdekatnya masuk dalam pesantren yang sama, aktif dalam kegiatan alumni, memberikan dukungan financial untuk kegiatan yang berhubungan dengan pesantren almamaternya dan bahkan keturunannya yang masih dipecayakan untuk menimbah ilmu dalam pesantren almamater orang tuanya.Sumber: pixabay.com |
Metode Berpikir Kritis
Dalam pergolakan dunia pendidikan, Pesantren memiliki tradisi pemikiran
yang unik, berbeda dengan tradisi pemikiran lembaga diluar pesantren. Sementara
itu, metode pemikiran dewasa ini berkembang begitu pesat, kususnya dalam hal
teori pembelajaran, diantaranya adalah metode pemikiran kritis. Metode berpikir
kritis diartikan sebagai berikut;
Menurut Bayer, berpikir kritis diartikan sebagai
kemampuan untuk menilai valid atau tidaknya suatu informasi yang didapat, bisa
membedakan antara informasi yang relevan dengan informasi yang tidak relevan,
dan mampu mengidentifikasi antara fakta dengan opini. Sementara itu Chance,
menyebutkan bahwa berpikir kritis merupakan kemampuan untuk menganalisis suatu
fakta kemudian membuat gagasan dan perbandingan untuk dapat menarik kesimpulan
terhadap masalah yang dihadapi.[2]
Dalam makna yang lebih sederhana kita bisa mengatakan bahwa berpikir kritis
adalah suatu proses menafsirkan, dan menanyakan suatu informasi dengan beberapa
gagasan-gagasan dan perbandingan-perbandingan.
Lebih lanjut, Paulo Freire menjelaskan bahwa pendidikan
harus diselenggarakan dengan prinsip-prinsip kritis, sebagai berikut;[3]
1.
Metode dialog merupakan metode
yang tidak bisa ditawar dalam penyelenggaraan pembelajaran
2.
Mendorong peserta didik untuk
menjadi pemikir yang kritis
3.
Merangsang refleksi dan aksi yang
bernar terhadap realitas
4.
Merangsang kreatifitas
Dari uraian di atas maka dapat kita ketahui bahwa
pendidikan seharusnya diselenggarakan dengan konsep-konsep “kebebasan dalam
berfikir”, serta senantiasa memfasilitasi santri agar dapat melihat dan
mengkritisi realitas sosial yang ada, selanjutnya pendidikan dalam pesantren
juga harus diselenggarakan dengan maksud agar santri tidak terlepas jauh dari
realitas sosialnya, agar santri dapat lebih kritis terhadap fenomena sosial,
ekonomi, budaya, dan pilitk yang ada.
Kasus Penggunaan Metode Pembelajaran dalam Pendidikan Pesantren
Pesantren yang berdiri sejak lama, yang kuat memegang tradisi pesantren,
dan tentunya akan memiliki singgungan dengan tradisi yang berkembang sekarang,
baik dalam hal metode pembelajaran, strategi pembelajaran, dan instrument
pendidikan yang digunakan, menjadi menarik untuk kita bincangkan. Misalnya
metode mengajar yang biasa digunakan dalam pembelajaran pesantren yang berupa
“ustadz membaca, santri mendengar dan mencatat”, metode ini biasanya digunakan
oleh ustadz yang berusia “sepuh”, atau bahkan ustadz yang masih muda, metode
ini masih dirasa relevan oleh para pengajar, namun dalam perkembangan dunia
pendidikan sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para pemikir, seperti Paulo
Freire, dia menyebutkan bahwa metode yang disebut di atas adalah metode
monologis, dimana tidak ada timbal-balik antara ustadz dengan santri, metode
seperti ini tidak menumbuhkan sikap kritis dari seorang santri, karena
pikirannya akan terbiasa dengan pendektean yang dilakukan oleh para ustadz, dan
tidak merangsang perasaan untuk berusaha menanyakan atau membandingkan
informasi yang telah dia peroleh tersebut, dan pada akhirnya informasi yang
diterima akan ditelan secara mentah. Padahal, metode pembelajaran kritis
dipercaya akan membuat peserta didik akan lebih sadar akan realitas sosial dan
masalah yang akan dihadapinya kelak dikemudian hari.
Selain metode di atas, dalam pembelajaran pesantren,
seringkali santri yang berusaha menanyakan seputar informasi yang dia dapatkan
dari para ustadz akan dibatasi, atau bahkan tidak diperbolehkan dengan cara
yang sangat halus, dimana ustadz akan mencontohkan “bagaimana kisah bani israil
yang suka bertanya, dan pada akhirnya akan mempersulit mereka sendiri”, dalam
cerita ini, bani israil sekali waktu bertanya pada nabinya, seputar seekor
sapi,[4]
dan parahnya kebanyakan santri akan menerima, membenarkan apa yang di
informasikan oleh para ustadz, dan pada akhirnya seorang santri yang berusaha
menanyakan suatu kasus akan merasa tidak nyaman, selanjutnya sikap kritisnya
akan menghilang.
Faktor – faktor yang Membuat Cara Berpikir Kritis Sulit Berkembang dalam Pesantren
Kasus di atas adalah contoh bagaimana tradisi pemikiran kritis merupakan
pemikiran yang kontra produktif dengan dunia pesantren. Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah konsep barokah, takdzim buta, dan tingkat
kreatifitas pengajar yang bisa dibilang kurang;
1.
Konsep Barokah
Dalam
dunia pesantren sudah tidak asing lagi istilah “barokah”, barokah merupakan
sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut “mu’jizat”, atau keajaiban yang
diperoleh santri setelah selesai menempuh jenjang pendidikan dalam pesantren,
barokah ini bisa berupa kemudahan hidup, kelancaran rizki, diterima diperguruan
tinggi bonafit, dan lain sebagainya. istilah ini masih sangat absurd untuk
dapat diuraikan, namun banyak dari lulusan pesantren mengakui banyak
mendapatkan barokah dari para kiai, dan ustadz setelah lulus dari pesantren.
Untuk
mendapatkan barokah, santri tidak boleh terlalu kritis, dan menerima
konsep-konsep yang disampaikan oleh para ustadz dan kiai,[5]
dan jangan sampai menyakiti hati para kiai dan ustadz.
konsep
tersebut di atas membuat daya nalar santri menjadi sangat terbatasi, karena
daya kritis dan kreativitasnya tidak ditumbuhkan, bahwakan cenderung terjadi
pelemahan, karena terlalu mengharapkan barokah.
2.
Takdzim Buta
Pendidikan
diartikan tidak hanya sebatas kegiatan transfer pengetahuan saja, namu juga
kegiatan transfer nilai, dari seorang guru kepada murid. Untuk dapat menerima
ilmu yang diteteskan kepadanya, santri harus memiliki sikap takdzim kepada
gurunya. Takdzim dalam bahasa ingris bisa disebut dengan “respect”, yaitu sikap
hormat kepada ustadz yang mengajar.
A. Ma’ruf
Asrori menjelaskan bahwa sikap ta’dzim tidak hanya sikap sopan dan menghormati,
namun lebih luas lagi takdzim dimaknai sebagai; Konsentrasi dan memperhatikan,
Mendengarkan nasehat-nasehatnya, dan Meyakini dan merendahkan diri kepadanya.[6]
Matinya sikap kritis seorang santri terhadap suatu informasi yang diperoleh
terjadi akibat adanya sikap takdzim buta, yaitu sikap dimana mematikan nalar
untuk menanyakan, membandingkan dan mempermasalahkan informasi-informasi, akibat
adanya konsep untuk menerima dan meyakini semua yang disampaikan oleh kiai atau
ustadz yang mengajarnya.
3.
Tingkat Kreatifitas Pengajar Yang
Rendah
Masalah
yang paling krusial sebenarnya ada pada bagian ini, penulis menduga, tingkat
kreatifitas seorang ustadz dalam memahami metode-metode, strategi-strategi
pembelajaran yang rendah, membuat ustadz lebih nyaman untuk mengajar dengan
menggunakan metode ceramah semata. Hal ini dilakukan dikarenakan metode ini
bisa dibilang sangat sederhana, pembelajaran dapat dilaksanakan tanpa harus
seorang ustadz membuat suatu persiapan yang berlebihan sebelumnya, cukup dengan
menguasai materi saja, sudah dapat mengajar/menyampaikan materi yang dibebankan
kepadanya.
Dengan kata lain menurut hemat
penulis, bahwa sebenarnya para ustadz tidak mau keluar dari zona nyamanya,
pasalnya dengan mengajar bertahun-tahun, tentunya ustadz-ustadz akan hafal
betul setiap materi yang dibebankan kepadanya, dengan metode ceramah, beliau
tinggal membacakan ulang apa yang dihafalnya, tanpa harus membuat
istrumen-istrumen lain ketika menggunakan metode-metode pembelajaran yang lebih
bervariatif.
Dari uraian di atas, seyogyanya perlu adanya rekonstruksi dunia
pendidikan pesantren agar lebih humanis, untuk memnganggap santri sebagai
subyek, bukan sekedar obyek pendidikan, santri harus diajak berdialog, tidak
hanya diberi pengetahuan layaknya bejana kosong yang harus diisi oleh para
ustadz dan kiai.
Pendidikan pesantren harus mengakui bahwa santri memiliki
pengalaman-pengalaman sehingga harus diajak berdialog untuk santri dapat
mengonstruksi pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperoleh sebelumnya,
selanjutnya agar pengetahuan dan materi yang disampaikan oleh para pengajar
akan lebih tinggi tingkat kebermaknaannya bagi santri.
[2] http://www.Pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-berpikir-kritis-menurut-para-ahli/
[3] Freire
dalam listiono santoso, dkk., Epistemology Kiri (Yogyakarta; Ar-Ruzz Media,
2015), hlm. 142
[4] lebih
lanjut silahkan cari cerita ini sendiri, karena artikel ini tidak berusaha
untuk membahas cerita ini. (strategi pembatasan santri untuk bersikap kritis
tentu saja memiliki variasi dari setiap pengajar)
[5] Walaupun
harus kita garis bawahi bahwa konsep yang disampaikan adalah konsep-konsep yang
bersifat positif
[6] A.
Ma’ruf Asrori dalam http://www.makalah.
info/2014/10/sikap-tadzim-siswa-kepada-guru-dalam.html
manteb
ReplyDeleteTrimakasih,
Delete